STRUKTUR KOMUNITAS PTERIDOPHYTA (TUMBUHAN PAKU) DI KAWASAN CAGAR ALAM SITU PATENGAN CIWIDEY KABUPATEN BANDUNG
Tina Yulistania S.Pd., Endah Lestari S.pd., Erland Yudistira S.Pd., Riza Fidiawati S.pd.,Sri Mulyana S.pd., Hanum Isfaeni M.Si.
E-mail: ndhh.lestari@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas Pteridophyta (tumbuhan paku) di Kawasan Cagar Alam Situ Patengan Ciwidey Kabupaten Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskiptif dengan teknik survai. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016. Hasil penelitian menunjukkan Pteridophyta (tumbuhan paku) yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Patengan meliputi 17 jenis, 15 marga, 12 suku, 4 bangsa, dan 2 kelas; Jenis tumbuhan paku dengan tingkat kemerataan tertinggi adalah Cibotium baranetz (J.) Sm. (99 individu/400 m2) sedangkan jenis tumbuhan paku dengan densitas terendah yaitu Pleocenemia irregularis (5 individu/400 m2); Indeks keanekargaman komunitas tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan berkisar dari 1,699- 2,5021 (kategori sedang); Indeks Nilai Penting (INP) yang paling tinggi adalah Nephrolepis bisserata sebesar 98,.313 sedangkan nilai indeks penting terendah adalah Christella leveille yaitu 9,362. Dengan indeks nilai penting ini menujukan bahwa spesies yang paling mendominasi adalah Nephrolepis bisserata;
Kata Kunci: Pteridophyta, keragaman, Situ Patengan
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keindahan alam dengan luas daratan 1,86 juta km2 dengan 17.508 pulau, salah satu yang terbesar adalah hutan. Hutan menyimpan beragam flora, fauna, serta keindahan alam sehingga dapat dimanfaatkan (Ria, 2011). Hutan dimanfaat sebagai kawasan konservasi flora dan fauna, tempat pelestarian dan objek wisata. Bandung dikenal dengan kawasan wisatanya yang masih tergolong ramah lingkungan dan di kenal keasriannya. Salah satunya adalah Kawasan Cagar Alam Situ Patengan Ciwidey.
Meningkatnya kehidupan menyebabkan meningkat pula kebutuhan perekonomian manusia. Salah satu cara melengkapi kebutuhan adalah dengan mengambil hasil hutan yang ada. Sebagai suatu kawasan cagar alam, perkembangan ekosistem pada kawasan Situ Patengan Bandung perlu dijaga untuk tumbuh secara alami tanpa adanya campur tangan manusia. Namun, karena kurangnya pemahaman dan kesadaran dari sebagian warga, kerusakan akibat eksploitasi jenis penyusun komunitasnya pun tak dapat dihindari.
Pengambilan hasil hutan yang tidak memperhatikan estetika lingkungan menyebabkan kerusakan lingkungan hal inilah yang menyebabkan eksploitasi Hutan. Salah satu upaya pelestarian lingkungan bisa dilakukan dengan mengidentifikasi flora dan fauna yang terdapat di hutan. Berdasarkan hasil penelusuran studi literatur yang dilakukan menyebutkan bahwa masih sedikitnya identifikasi mengenai Pteridophyta atau tumbuhan paku. Langkah awal yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian ekosistem di kawasan Cagar Alam situ patenggan, dengan adanya eksploitasi terhadap komponen penyusunnya (tumbuhan paku) adalah dengan memahami berbagai kondisi biologis dan proses-proses ekologi yang terjadi seperti sekarang ini.
Pola kehidupan masyarakat patengan yang menjadikan kawasan situ menjadi tempat wisata akan sangat mempengaruhi kehidupan tumbuhan disekitar tempat tersebut, khususnya tumbuhan paku. Hal ini akan menyebabkan Factor abiotik dari lingkungan situ patengan menjadi berubah. Lingkungan abiotik akan menentukan pola persebaran, penyebaran dan kelimpahan dari spesies tanaman saat ini, dan ini menjadi topik perdebatan (Tuomisto and Poulsen 2003, Gilbert dan Lechowicz 2004). Pemaparan bahwa pola dari distribusi tanaman, menganggap bahwa perbedaan antarspesies, persyaratan niche mendasari pola distribusi spesies, dan hal ini menekankan pada peran lingkungan abiotik (McKane et al.2002, Potts et al. 2004).
Dipilihnya tumbuhan paku sebagai objek dalam penelitian ini, selain sebagai salah satu komponen penyusun vegetasi di kawasan Cagar Alam Situ Patengan tumbuhan ini mempunyai bermacam manfaat diantaranya adalah; sebagai tanaman hias contohnya suplir; digunakan untuk sayuran contohnya paku pohon dan paku air daun dan rhizomanya dapat digunakan sebagai ramuan obat contohnya paku langlayangan, paku kikir, dan paku duditan dan batang tumbuhan paku dapat digunakan untuk bahan bangunan, kesenian, dan untuk media tanam contohnya paku tiang. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang kami ambil mengenai struktur komunitas tumbuhan Pteridophyta atau paku didaerah situ patengan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Cagar Alam Patengan Kabupaten Bandung pada 03 November 2016 selama 2 hari meliputi, pengambilan data lapangan selama 1 hari dan identifikasi selma 1 hari. Alat yang dibutuhkan adalah kantong plastik, tali rafia, patok, termometer, luxmeter, higrometer, soil tester, binokuler, sticker label, kamera, kunci identifikasi. Bahan yang dibutuhkan adalah tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan Kabupaten Bandung.
Cara atau langkah kerja yang dilakukan pada penelitian melalui beberapa tahapan anatara lain: Penentuan stasiun, stasiun yang digunakan sebanyak 4 stasiun dengan 2 transek, masing-masing transek terdapat 2 kuadran. Jarak interval setiap transek 10 m, kuadran amazon dengan ukuran 5x5 m, dengan jarak kuadan 1 m ke kanan dan ke kiri.; Pengambilan sampel, dilakukan dengan metode simple random sampling. Jenis tumbuhan paku yang terdapat pada quadran amatan dicatat nama berserta habitat dan dihitung jumlah cacah individunya; Pengukuran Parameter Lingkungan, subtransek diukur kondisi faktor lingkungannya antara lain: suhu udara dilakukan dengan termometer yang diletakkan pada plot penelitian, kelembapan udara dilakukan dengan menggunkan higrometer yang diletakkan pada plot penelitian, intensities cahaya dilakukan dengan menggunakan luxmeter yang diarahkan pada vegetasi yang diamati, kelembapan tanah diukur dengan menggunakan soiltester yang ditancapkan ke tanna dan PH tanah yang dilakukan dengan menggunakan soiltester.
Metode analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan anatara lain: Identifikasi Jenis, dilakukan dengan pengamatan langsung dengan foto dari objek yang susan teridentifikasi; Indeks kemerataan, dilakukan dengan rumus, Terakhir adalah penghitungan Indeks Nilai Penting, yang hasilnya akan digunakan utuk menetapkan dominasi suatu jenis. Nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas, (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974: Soerianegara dan Indrawan, 2005): INP = Kerapatan relatif (KR) + Frekuensi relatif (FR)+ dan Dominasi relatif (DR). Selain penghitungan Faktor-faktor tersebut, maka dilakukan juga analisis parameter lingkungan habitat tumbuhan paku, yaitu dengan analisis deskriptif dengan mengacu pada kondisi umum yang ditemukan dari seluruh kuadran amatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis tumbuhan paku yang ditemukan pada 16 kuadran yang diamati di 4 stasiun di kawasan Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat. Menurut V. B. Amoroso dan W. P. Winter (2003) Pterydophyta terdiri atas 4 kelas yaitu kelas Pteropsida, kelas Lycopsida, kelas Psilotopsida, dan kelas Sphenopsida. Dari hasil pengamatan di daerah plot penelitian ditemukan 17 jenis Pterydophyta, meliputi 15 marga, 12 suku, 4 bangsa dan 2 kelas.
Variasi spesies Pterydophyta di Cagar alam Patengan termasuk tinggi, karena cagar alam patengan memiliki habitat serta kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan Pterydophyta. Pterydophyta ada yang hidup sebagai saprofit dan ada pula yang epifit. Selain itu menurut Edwina (2012) mengatakan bahwa tumbuhan paku sebagian besar bersifat higrofit. Tumbuhan paku ini menyukai tempat lembab (Yudianto, 1992). Hal ini dikuatkan oleh pendapat Ashwini et. Al (2014) bahwa tumbuhan paku menyukai tempat teduh, dengan intensitas cahaya sedang dan tingkat kelembaban yang tinggi akan tetapi pada umumnya kebanyakan adalah jenis tumbuhan paku terrestrial.
Indeks kemerataan tertinggi Pteridophyta atau tumbuhan paku, di kawasan Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat adalah Cibotium baranetz (J) Sm. Yaitu 24,75, sedangkan indeks kemerataan terendah terdapat pada spesies Christella leveille yaitu 1,75. Indeks kemerataan ini menunjukan perbandingan jumlah individu suatu spesies perluas wilayah sampling. Tingginya densitas Cibotium baranetz dan Cyclosorus Innterupsusi dibandingkan dengan jenis lain yang ditemukan menunjukkan bahwa Cibotium baranetz dan Cyclosorus Innterupsus merupakan tumbuhan yang paling mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di kawasan Cagar Alam Patengan. Menurut Ronald dalam Barbour (1987) menyatakan bahwa masing-masing spesies mampu tumbuh baik dan berhasil memperbanyak diri jika tumbuh dalam kisaran kondisi lingkungan tertentu. Sedangkan untuk tumbuhan paku dengan densitas rendah yaitu Pleocenemia irregularis (C.Presl) dan Christella leveille. Faktor intensitas cahaya dapat diduga sebagai faktor penentu distribusi Pleocenemia irregularis (C.Presl) dan Christella leveille di Kawasan Cagar Alam Patengan. Karena dari 5 faktor lingkungan yang diamati pada area diketemukannya Christella levielle dan Pleocenemia irregularis (C.Presl) hanya faktor intensitas cahaya yang menunjukkan pola perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan area yang lain. Menurut Sophia (1992, diacu dalam Ratih 2002) Christella leveille Moore termasuk kelompok paku-pakuan yang menyukai tempat terlindung (heliofob).
Indeks keanekaragaman komunitas Pteridophyta atau tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat dari empat stasiun yang dihitung menggunakan rumus Shannon-Wienner diperoleh hasil bahwa nilai keanekaragaman tertinggi pada stasiun 4 yaitu 2,5021. Stasiun dengan nilai terendah pada stasiun 1 yaitu 1,699. Sehingga memiliki rata-rata indeks keragaman yang terdapat pada plot penelitian berkisar antara 1,699-2,5021 (kategoti sedang). Kategori sedang ini meninjikan bahwa dalam komunitas tersebut masih terjadi perkembangan dari keanekaragaman tumbuhan tersebut (Edwina, 2012).
Keanekaragaman dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur kestabilan komunitas. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragamannya, maka komunitas tersebut akan lebih stabil (Fachrul 2007). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan stabil, dengan demikian komunitas tersebut memiliki potensi untuk mengalami perkembangan kearah kestabilan yang lebih mantap atau sebaliknya. Berdasarkan besarnya indeks diversitas maka komunitas tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan menunjukkan masih dalam proses perkembangan. Dalam rangka usaha konservasi di kawasan Cagar Alam Patengan, perlu dilakukan pemantauan lebih lanjut untuk mengetahui perubahan struktur komunitas tumbuhan paku di kawasan tersebut.
Indeks nilai penting (INP) komunitas tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat di peroleh individu yang mendominasi di area plot penelitian adalah Cibotium baranetz, kemudian di posisi kedua ada Nephrolepis bisserat. Sedangkan individu yang paling sedikit adalah Pleocenemia irregularis. Namun dari perhitungan indeks nilai penting diketahui bahwa yang paling tinggi adalah Nephrolepis bisserata sebesar 98.313 sedangkan nilai indeks penting terendah adalah Christella leveille yaitu 9,362.
Beragamnya nilai INP ini menunjukkan adanya pengaruh lingkungan tempat tumbuh seperti kelembaban, suhu dan tidak mampu atau kalah berkompetisi , seperti perebutan akan zat hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan jenis - jenis lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon. Menurut Odum (1992), jenis yang dominan mempunyai produktivitas yang besar. Keberadaan jenis dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya.
Spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan biasanya memiliki INP paling tinggi diantara spesies lainnya. Selain itu besarnya INP juga menandakan besar atau tidaknya pengaruh spesies tersebut dalam suatu komunitas tumbuhan . Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Nephrolepis bisserata adalah spesies yang paling dominan. Nephrolepis bisserata merupakan organisme yang memiliki karakteristik tumbuh di tempat terbuka atau epifit pada pohon lain. Hal ini sesuai karena penelitian ini dilakukan di area terbuka.
Analisis parameter habitat tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat tidak menggambarkan kondisi lingkungan sepanjang tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH tanah pada seluruh area yang diamati bersifat netral dengan kisaran 6,8 – 7. Kelembaban tanah berkisar antara 30-65 %, suhu udara berkisar 24.5 0C-27,5 0C, dengan kelembaban udara antara 87,5-93 %, dan intensitas cahaya antara 1300-1450 lux.
Jika kondisi lingkungan berubah melebihi tingkat toleransinya, maka akan menyebabkan kemusnahan tumbuhan dari habitat tersebut. Berdasarkan hal tersebut kondisi lingkungan yang diamati pada penelitian ini masih dalam kisaran toleransi untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan paku di kawasan tersebut. Keanekaragaman jenis paku-pakuan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, semakin tinggi tempat kelembaban tinggi atau suhu rendah dapat menyebabkan tumbuhan tidak dapat hidup, sehingga keanekaragaman jenis rendah (Edwina,2012). Hal ini dikuatkan oleh pendapat dari Karst (2005) yang menyatakan bahwa faktor abiotik sangat menentukan pola persebaran dan kelimpahan dari tumbuhan paku.
KESIMPULAN
Keanekaragaman jenis Pteridophyta di Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat terrasuk tinggi karena memiliki habitat seta kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman Pteridophyta. Faktor yang menyebabkan perbedaan indeks kemerataan dipengaruhi karena perbedaan kondisi habitat pada stasiun yaitu adanya perbedaan intensitas cahaya. Indeks keragaman yang diperoleh adalah dalam kategori sedang, hal ini menunjukkan bahwa komunitas Pteridophyta diwilayah ini mengalami perkembangan kearah stabil. Berdasarkan Indeks nilai penting yang diperoleh individu dominan pada wilayah ini adalah Nephrolepis bisserata, yang merupakan tumbuhan yang memiliki karakteristik tumbuh di tempat terbuka atau epifit pada pohon.
SARAN
Penelitian perlu dilakukan diberbagai area di Cagar Alam Patengan, Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat dengan area penelitian yang lebih luas. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan paku di kawasan Cagar Alam Patengan perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut pengukuran kondisi faktor lingkungan secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashwini, et.all . (2014). Ecology and phenology of plant communities of Gentianaceae in Montane Grasslands of Karnataka, Southern India. Society For Journal tropical reseach. India.
Barbour, G.M., J.K. Burk dan J.K. Pitts. 1987. “ Terrestrial plant ecology”. New York: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc
De Winter, W.P and Amoroso, V.B. 2003. Plant Resources of South-East Asia no. 15(2). Cryptogams: Ferns and Ferns Allies. Bogor: prosea foundation.
Dr. C. G. G. J Van Steenis . 1975 . Flora untuk sekolah di Indonesia . Pradnya Paramiat. Jakarta
Edwina, rudyarti (2012) persebaran dan keanekaragaman jenis tumbuhan paku – pakuan pada ketinggian yang berbeda di daerah terbuka dan tertutup kawasan hutan bebeng, cangkringan, sleman, yogyakarta. S1 thesis, universitas negeri yogyakarta.
Ely Triana. 2014. Kolaborasi Konfirmasi Di Kawasan Ciwedey. Institute Pertanian Bogor.
Gilbert, B., and M. J. Lechowicz. 2004. Neutrality, niches, and dispersal in a temperate forest understory. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA 101:7651– 7656.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources- United Nations Environment Programme-Worl Wildlife Fund. 1980. World Conservation Strategy: Living resource conservation for sustainable development.
Karst, J. et al. Fern community assembly: the roles of chance and the Environment at local and intermediate scales. Ecology, 86(9), 2005, pp. 2473–2486.
McKane, R. B., L. C. Johnson, G. R. Shaver, K. J. Nadelhoffer, E. B. Rastetter, B. Fry, A. E. Giblin, K. Kielland, B. L. Kwiatkowski, J. A. Laundre, and G. Murray. 2002. Resource-based niches provide a basis for plant species diversity and dominance in arctic tundra. Nature 415:68–71.
Odum EP.1980. Dasar-Dasar Ekologi terjemahan Thahjono Samingan (1993). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Odum, Howard T. "Ekologi sistem : suatu pengantar / Howard T. Odum; penerjemah Supriharyono, Koen Praseno, Retno Purwani ; penyunting B. Srigandono "1992
Potts, M. D., S. J. Davies, W. H. Bossert, S. Tan, and M. M. N. Supardi. 2004. Habitat heterogeneity and niche structure of trees in two tropical rain forests. Oecologia 139:446–453.
Ratih D. 2002. Keanakragaman Jenis Tumbuhan Paku Di Kawasan Air Terjun Montel Desa Colo Kabupaten Kudus (skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Ria puspita sari. 2011. Strategi Pengembangan Usaha Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna Puncak-Bogor. Institute Pertanian Bogor.
Soerianegara, I dan Andry Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tjitrosoepomo G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Scizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pterydophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tuomisto, H., and A. D. Poulsen. 2000. Pteridophyte diversity and species composition in four Amazonian rain forests. Journal of Vegetation Science 11:383–396.
Yudianto, Suroso. 1992.Pengantar Cryptogamae (Sistemik Tumbuhan Rendah). Bandung : Penerbit Tarsito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar